Di lembah-lembah Nyandarua yang subur, tempat tanahnya subur dan udaranya sejuk, sesuatu yang luar biasa tengah tumbuh — sebuah revolusi yang tenang di ladang-ladang kentang. Namun, ini bukan sekadar tentang pertanian. Ini tentang martabat, visibilitas, dan penulisan ulang narasi tentang apa artinya menjadi "mampu."
Dalam dunia di mana kemampuan terlalu sering didefinisikan oleh standar fisik yang sempit, sekelompok petani yang bertekad dan berkemampuan berbeda membuktikan bahwa kekuatan sejati seorang petani tidak terletak pada anggota tubuh, tetapi pada jiwa.
Bukan sekedar menanam benih umbi, tapi benih inklusi
Menanam benih bukan hanya soal tanah — ini soal menanam harapan, inklusi, dan kesempatan. Baru-baru ini, selama pelatihan dan demonstrasi tentang pertanian kentang Irlandia dengan kelompok yang luar biasa ini, apa yang terungkap sungguh inspiratif. Saat sekop memecah tanah dan mata berbinar karena rasa ingin tahu, ladang-ladang ini berubah menjadi ruang kelas tempat keyakinan akan kemampuan berakar. Bagi banyak peserta, ini adalah pertama kalinya potensi mereka sebagai petani benar-benar terlihat dan diterima — tidak hanya untuk menanam benih umbi, tetapi juga untuk menanam benih inklusi, kepercayaan diri, tujuan, dan kebanggaan.
George Githiri, salah satu peserta, mengatakan hal ini dengan tepat:
“Orang-orang menilai ketidakmampuan kami tanpa pernah memberi kami kesempatan. Mereka melihat kursi roda, tongkat jalan, dan berhenti di situ. Namun, tidak seorang pun dari mereka melihat bagaimana kami memberi makan keluarga, bagaimana kami mendorong diri kami setiap hari untuk menjadi bagian dari dunia ini, ekonomi ini, sistem pangan ini.”
Kata-katanya menyentuh hati. Berapa banyak petani berbakat yang tersisihkan, bukan karena mereka kurang potensial, tetapi karena mereka tidak pernah diberi kesempatan untuk menunjukkannya?
Tuan David, peserta lainnya, berbicara dengan kekuatan yang tenang seperti seorang pria yang telah lama menentang ekspektasi:
“Ya, saya tahu kemampuan saya berbeda. Namun, itu tidak berarti saya tidak bisa menanam. Saya selalu menyiapkan lahan saya — tidak hanya untuk kentang, tetapi juga untuk tanaman lain. Inilah hidup saya.”
Ia tersenyum saat ia dengan lembut memadatkan tanah di atas sederetan umbi benih — tindakan sederhana, namun sarat makna. Dengan setiap genggaman, ia mengubur stigma dan mengangkat standar baru untuk apa yang mungkin.
Joseph, seorang petani yang terjun langsung dengan wawasan tajam, sangat gembira mempelajari rantai nilai kentang — dari laboratorium kultur jaringan hingga kelas benih bersertifikat dan ilmu di balik penentuan ukuran.
“Ini adalah hal-hal yang tidak pernah kita pelajari,” katanya.
“Orang-orang berasumsi kami tidak bisa bertani. Namun, saya melakukan segalanya di pertanian saya — saya memerah susu sapi, memilah kentang, dan sekarang saya ingin belajar tentang nilai tambah. Saya ingin bertani di luar tanah.”
Bahkan masyarakat sekitar pun memperhatikannya. Seorang tetangga, yang telah melihat beberapa anggota kelompok di desa tersebut selama bertahun-tahun, berbagi keheranannya:
“Saya mengenal beberapa dari mereka, melihat mereka di sekitar, tetapi saya tidak pernah tahu mereka bisa melakukan pekerjaan seperti ini — menggali, menanam, belajar tentang pertanian seperti ini. Itu benar-benar mengubah cara pandang saya terhadap mereka. Sekarang, saya hanya melihat sesama petani.”
Kata-katanya mencerminkan perubahan diam yang terjadi di ladang ini: bukan hanya tanah yang dibalik, tetapi persepsi pun berubah.

Visi Joyce: Dari eksklusi menuju pemberdayaan
Salah satu suara terkuat dari lapangan adalah Joyce, ketua dan pendiri VMG (Kelompok Rentan dan Terpinggirkan). Dibentuk pada tahun 2024, VMG kini beranggotakan 25 orang — 12 di antaranya adalah penyandang disabilitas, dan sisanya adalah pengasuh atau orang tua dari anak-anak penyandang disabilitas.
Joyce memulai kelompok tersebut setelah mengalami stigma dan pengangguran.
“Kelompok ini lahir dari kebutuhan untuk memberdayakan penyandang disabilitas melalui pertanian,” dia berbagi. “Bertani telah memberi saya tujuan dan rasa percaya diri. Saya tidak lagi menunggu bantuan. Sekarang saya melatih orang lain.”
Meskipun pernah diberitahu bahwa ia tidak dapat bergabung dengan kelompok petani kentang karena "pekerjaan ini untuk pria yang sehat," Joyce terus maju. Sekarang, ia menanam kentang dan kubis, terlibat dalam peternakan unggas dan menangani semua tugas — mulai dari menanam dan menyiangi hingga menyortir dan memasarkan.
Dia juga berpandangan jernih terhadap tantangan-tantangan tersebut:
“Sebagian besar pelatihan tidak dapat diakses. Transportasi sulit. Bank tidak menganggap serius saat kami mengajukan pinjaman pertanian. Bahkan mendapatkan benih berkualitas pun sulit.”
Namun, selama sesi pelatihan inklusif ini — yang dirancang untuk petani dengan kemampuan berbeda — dia merasakan ada sesuatu yang berubah:
“Ini adalah pertama kalinya pelatihan dirancang dengan mempertimbangkan kami. Para pelatihnya sabar dan inklusif. Kami semua belajar dengan cara kami sendiri.”
Joyce sekarang bermimpi memimpin proyek penambahan nilai:
“Saya ingin memulai unit keripik kentang dan tepung, yang dikelola oleh para penyandang disabilitas. Unit ini akan menyediakan lapangan pekerjaan dan membantu kami memperoleh penghasilan lebih banyak dari hasil panen kami.”
Pesannya sama kuatnya dengan karyanya:
“Disabilitas bukan berarti ketidakmampuan. Kami memiliki keterampilan dan keinginan untuk bertani. Kami hanya butuh akses — ke peralatan, pelatihan, dan lahan. Kami tidak menginginkan simpati. Kami menginginkan kesempatan.”

Inklusi adalah benih perubahan nyata
Perjalanan ini didukung oleh Umbi Nakuru dan Meja Bantuan Petani, dengan dukungan penting dari Yayasan Mastercard melalui RUFORUM dan KATA-KATA, bersama KeFAAS Kenya dan KOLIB Universitas Egerton. Ini bukan amal. Ini adalah kesetaraan — dan komitmen untuk mengakui dan mengangkat spektrum penuh potensi pertanian di Kenya.
Sektor kentang sudah terlalu lama mengabaikan bakat-bakat seperti George, David, Joseph, dan Joyce. Ketika petani berkebutuhan khusus didukung, mereka tidak hanya berpartisipasi — mereka memimpin, berinovasi, dan menginspirasi.
Kepada para pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan: Tanpa inklusi, pembangunan pertanian tetap tidak lengkap. Inklusi bukanlah renungan belakangan — itu adalah fondasinya.
Seperti yang Joyce ingatkan pada kita:
“Makanan adalah untuk semua orang, jadi pertanian seharusnya melibatkan semua orang.”
Dan seperti yang dikatakan George,
“Yang kita butuhkan hanyalah sebuah kesempatan.”
Bila diberikan, mereka tumbuh — dengan indah.


