Musim tanam pada tahun 2024 di Haute-Vienne, Prancis, merupakan musim yang penuh tantangan bagi para petani, terutama mereka yang menanam kentang, tomat, kacang polong, dan kacang-kacangan. Musim semi yang basah dan kondisi awal musim panas yang tidak sesuai musimnya telah menciptakan badai yang sempurna bagi penyebaran penyakit busuk daun, khususnya Phytophthora infestans—umumnya dikenal sebagai penyakit busuk daun—yang telah menghancurkan tanaman di seluruh wilayah. Ketika para petani berupaya melakukan mitigasi kerugian, situasi ini menyoroti semakin besarnya ancaman tantangan pertanian terkait iklim.
Dampak Penyakit Busuk Daun pada Tanaman
Penyakit busuk daun adalah penyakit jamur terkenal yang tumbuh subur di kondisi lembab dan sejuk, sehingga menjadi musuh berat bagi petani selama musim tanam basah. Di Haute-Vienne, curah hujan yang terus-menerus dan suhu sedang pada musim semi dan awal musim panas menciptakan kondisi ideal bagi jamur untuk berkembang biak.
Petani seperti Cédric Aubeneau di Rochechouart telah menyaksikan langsung dampak buruknya. Aubeneau melaporkan kehilangan 50% tanaman kentangnya dan sebagian besar tanaman tomatnya karena penyakit busuk daun. Di pertanian organiknya, hanya sebagian kecil tanaman kentang yang tidak terpengaruh, sementara gulma mulai mengambil alih bagian lahan yang rusak. Skenario ini tidaklah unik; banyak petani di wilayah ini juga menghadapi tantangan serupa, bahkan ada yang melaporkan gagal panen.
Kerusakan Tanaman yang Lebih Luas
Meskipun penyakit hawar merupakan masalah utama bagi tomat dan kentang, tanaman lain juga tidak luput dari dampak buruk kelembaban yang berlebihan. Kacang polong, misalnya, mengalami pembusukan biji karena kondisi tanah yang terlalu basah, sehingga memaksa petani seperti Aubeneau untuk menanam kembali seluruh lahan. Ketegangan tambahan ini tidak hanya meningkatkan biaya tenaga kerja dan input tetapi juga menunda panen, sehingga berpotensi mempengaruhi waktu pasar dan harga.
Untuk mengimbangi kerugian ini, beberapa petani terpaksa menanam tanaman yang cepat tumbuh seperti lobak dan lobak dengan harapan dapat menyelamatkan sebagian pendapatan. Untungnya, kembalinya kondisi cuaca yang lebih kering telah memperlambat penyebaran penyakit hawar, sehingga tanaman sekunder ini memiliki peluang yang lebih baik untuk mencapai kematangan.
Nasib Kebun Anggur
Industri anggur di Haute-Vienne dan negara tetangga Corrèze juga terkena dampak parah akibat kondisi hujan. René Maury, presiden gudang bawah tanah Vézère di Allassac, telah melihat lebih dari 50% tanaman anggurnya hancur karena penyakit busuk daun, dan beberapa kebun anggur Merlot mengalami gagal panen total. Kerugian ini sangat merugikan para pembuat anggur, karena tanaman anggur yang terkena dampak tidak akan menghasilkan buah anggur yang dapat digunakan tahun ini.
Maury, seperti banyak orang di kawasan ini, sedang mempertimbangkan untuk berinvestasi pada varietas anggur baru yang lebih tangguh dan lebih tahan terhadap pola cuaca yang menantang seperti itu. Pergeseran strategi ini menjadi semakin penting karena pola cuaca yang tidak biasa menjadi lebih sering terjadi, yang kemungkinan disebabkan oleh tren perubahan iklim yang lebih luas.
Musim tanam di Haute-Vienne pada tahun 2024 menggarisbawahi kerentanan praktik pertanian tradisional terhadap perubahan iklim. Ketika kejadian cuaca ekstrem semakin sering terjadi, petani perlu beradaptasi dengan mengeksplorasi varietas tanaman yang lebih tangguh, menyesuaikan jadwal tanam, dan menerapkan praktik pengelolaan hama terpadu untuk memerangi penyakit seperti hawar. Meskipun solusi jangka pendek seperti menanam tanaman alternatif dapat membantu mengurangi kerugian jangka pendek, strategi jangka panjang sangat penting untuk menjamin keberlanjutan dan keuntungan pertanian di wilayah tersebut.